Editorial
Oleh: Sipri Klau
——————-
Pemimpin Redaksi jurnal-NTT.com
Beberapa hari belakangan ini situasi di Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur memanas. Jalan masuk Kantor Bupati Malaka, Rumah Sakit Penyangga Perbatasan Betun, gedung sekolah dan beberapa gedung kantor dinas diblokade masyarakat pemilik lahan menggunakan batu dan kayu. Aksi blokade jalan ini sempat menghambat aktivitas kerja Aparatur Sipil Negara.
Masyarakat pemilik lahan kantor bupati dan beberapa instansi itu merasa tidak puas. Mereka tidak puas karena tidak diakomodir sebagai tenaga kontrak daerah.
Tenaga kontrak daerah menjadi salah satu lapangan kerja yang paling dicari dan diminati sebagian besar pencari kerja di Kabupaten Malaka. Buktinya, di tahun 2022 ini, sebanyak 6500 pencari kerja melamar sebagai tenaga kontrak daerah. Sementara Pemerintah Kabupaten Malaka hanya membutuhkan 1000 tenaga kontrak daerah. Hal itu berarti sebanyak 5.500 orang pelamar harus tereliminasi.
Ada pepatah, maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Pepatah ini tepat menggambarkan kebijakan Pemerintah Kabupaten Malaka dalam perekrutan tenaga kontrak daerah.
Pemerintah Kabupaten Malaka tentunya ingin agar para pencari kerja di Malaka bisa bekerja. Dengan harapan, angka pengangguran bisa berkurang dan pendapatan ekonomi masyarakat meningkat. Namun apalah daya, ketersediaan anggaran tidak memungkinkan untuk merekrut tenaga kontrak daerah sebanyak-banyaknya.
Ketidakpuasan para pencari kerja ini mungkin dapat dibenarkan. Sebab lapangan kerja di Kabupaten yang berbatasan dengan negara Timor Leste ini sangat minim. Harapan agar para pencari kerja mampu menciptakan lapangan kerja untuk diri sendiri nihil.
Bekerja sebagai tenaga kontrak daerah bukanlah sebuah peluang yang menjanjikan untuk bisa memperbaiki taraf hidup seseorang. Pikiran ini tidaklah berlebihan. Sebab upah tenaga kontrak daerah sangat minim.
Upah tenaga kontrak adalah Rp 1.500.000 per bulan. Jika uang Rp 1.500.000 tersebut dibagi untuk biaya akomodasi, transportasi dan konsumsi serta kebutuhan pokok lainnya maka tidak akan bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kita mulai berhitung secara ekonomis. Pertama, biaya akomodasi. Jika pegawai tenaga kontrak tersebut tidak memiliki tempat tinggal yang berdekatan dengan tempat kerja maka pasti harus menyewa penginapan. Biaya sewa penginapan yang nyaman diperkirakan mencapai Rp 500.000 per bulan.
Kedua, biaya transportasi. Jika tempat tinggal pegawai kontrak jauh dari tempat kerja maka tentu butuh biaya transportasi. Jika memiliki kendaraan roda dua maka diperkirakan akan menghabiskan minimal Rp 10.000 sampai Rp 15.000 per hari untuk pembelian bahan bakar. Angka Rp 10.000 tersebut diperkirakan untuk pegawai yang tinggal dengan jarak tempuh minimal empat hingga lima kilo meter dari tempat kerja. Angka ini akan bertambah jika jarak tempuh ke tempat kerja melampaui lima kilo meter. Jika sehari menghabiskan uang transportasi sebesar Rp 10.000 maka kebutuhan transportasi dalam sebulan adalah Rp 300.000.
Ketiga, biaya konsumsi. Jika dalam sehari biaya konsumsi mencapai Rp 50.000 maka dalam sebulan seorang pegawai kontrak daerah bisa menghabiskan Rp 1.500.000.
Jika diakumulasi, komponen pengeluaran biaya akomodasi Rp 500.000 + biaya transportasi Rp 300.000 + biaya konsumsi Rp 1.500.000 maka dalam sebulan seorang pegawai kontrak akan memiliki pengeluaran sebesar Rp 2.300.000. Jika Rp 1.500.000 dikurangi Rp 2.300.000 maka penghasilan seorang tenaga kontrak mengalami minus Rp 800.000 per bulan. Angka ini belum termasuk pengeluaran untuk kebutuhan pokok lainnya.
Penghasilan minus tidak mengurangi niat dan minat para pencari kerja untuk melamar dan berharap bisa bekerja sebagai tenaga kontrak daerah. Tenaga kontrak daerah tetap menggiurkan. Tenaga kontrak daerah tetap menjadi lapangan kerja yang paling diminati.
Jika motivasi para pencari kerja menjadi tenaga kontrak daerah agar bisa meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga maka motivasi demikian tidaklah tepat. Jika motivasi menjadi tenaga kontrak daerah agar bisa merubah status sosial dari pengangguran menjadi pegawai kantoran juga kurang tepat. Namun jika motivasi menjadi tenaga kontrak daerah sebagai bentuk pengabdian bagi bangsa dan negara maka motivasi itu cukup mulia.
Namun ini hanya sebuah hipotesa. Yang jelas minimnya ketersediaan lapangan kerja di Malaka menjadi salah satu faktor penyebab tingginya minat pencari kerja melamar sebagai tenaga kontrak daerah.
Apapun motivasinya, menjadi tenaga kontrak daerah tidak menguntungkan secara ekonomis. Malahan, usia kerja produktif yang seharusnya dipergunakan untuk mendapatkan atau menciptakan lapangan kerja yang lebih menguntungkan terbuang sia-sia.
Minimnya ketersediaan lapangan kerja di Kabupaten Malaka merupakan tanggungjawab pemerintah. Sebab itu, pemerintah perlu memikirkan solusi jangka panjang untuk mengurangi pengangguran. Perekrutan tenaga kontrak daerah bukan solusi efektif untuk mengurangi angka pengangguran. Apalagi sudah ada rencana pemerintah pusat untuk menghapus penerimaan tenaga kontrak daerah di tahun 2023 yang akan datang.
Salah satu solusi jangka panjang adalah membangun Balai Latihan Kerja untuk mendidik dan melatih kaum muda Malaka menjadi tenaga kerja yang terampil dan berdaya saing di bidangnya masing-masing.
Setelah dididik dan dilatih di BLK, pemerintah perlu memberikan modal usaha. Dengan modal usaha itu, kaum muda terampil jebolan BLK itu bisa membuka lapangan kerja sendiri sesuai keterampilan yang dimiliki.
Selain membangun BLK, masih banyak solusi jangka panjang yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi angka pengangguran di Malaka. Namun semua itu tergantung political will dari Pemerintah Kabupaten Malaka sebagai lembaga eksekutif dan DPRD Kabupaten Malaka selaku pemegang palu Rp 837 miliar APBD Kabupaten Malaka.
Salam !