Pujangga Niccolo Machiavelli berpandangan, untuk mempertahankan kekuasaan, seorang penguasa diperbolehkan berbohong, menipu dan menindas. Politisi yang tak beretika sering dicap sebagai “machiavellis”. Machiavellis sama dengan penjahat atau bandit.
Bandit politik artinya penjahat/perampok politik. Para bandit politik sering merampok hak-hak politik rakyat, termasuk menindas rakyat dengan mempraktikkan politik identitas.
Bagi para bandit politik identitas; suku, agama dan ras merupakan isu seksi yang layak dipelihara dan dijual demi kekuasaan.
Politik sejatinya merupakan sarana untuk memperjuangkan kemaslahatan rakyat. Namun hakikat politik itu sering kali mengalami disorientasi. Orientasi para bandit politik adalah kekuasaan.
Para bandit atau machiavellis politik ini menggerus esensi demokrasi. Mereka tidak mengenal etika dan kebajikan politik. Perbanditan politik ini melahirkan praktik politik despotik. Praktik politik despotik tidak mengenal nilai kemanusiaan bahkan bernafsu “membunuh” lawan politiknya.
Bandit politik tidak hanya berada di aras politik nasional. Namun mereka juga bercokol di aras politik lokal.
Di aras politik lokal Nusa Tenggara Timur (NTT), politik identitas dipelihara dan dipraktikkan oleh para bandit politik. Mereka mempraktikkan politik identitas “Orang Timor pilih orang Timor”, orang Rote pilih orang Rote”, “orang Flores pilih orang Flores”, orang Katolik pilih orang Katolik, orang Protestan pilih orang Protestan dan isu politik identitas lainnya. Politik identitas merupakan senjata ampuh bagi para bandit politik untuk “membunuh” lawan politik yang berasal dari suku, ras dan agama minoritas.
Praktik perbanditan politik identitas ini menggerus ruang partisipasi politik bagi figur-figur politik potensial yang secara kodrat terlahir dari rahim seorang ibu dari etnis minoritas di setiap daerah. Figur-figur potensial yang berasal dari etnis minoritas akan sukar menjadi pemimpin. Figur dari suku, agama dan ras minoritas akan takut kalah dan mengalami lack of confidence sebelum bertarung dalam hajatan politik. Ataupun terpaksa bertarung namun berkahir dengan kekalahan.
Bandit politik identitas yang terpilih dan berkuasa melalui proses yang diyakini “demokratis” memiliki kecenderungan mempraktikkan kekuasaan primordialisme yang dapat memunculkan diskriminasi, konflik dan menghambat hubungan antar kelompok.
Bandit politik identitas yang berkuasa memiliki kecenderungan mempraktikkan ketidakadilan dalam kekuasaannya. Kebijakan yang lahir dari para bandit politik identitas ini cenderung primordial sehingga menguntungkan suku, agama dan ras tertentu.
Politik identitas di NTT terus dipelihara dan dipupuk. Isu politik identitas dikemas secara rapih. Alih-alih dibentuk sebagai wadah pemersatu etnis tertentu, banyak komunitas etnis yang dibangun justeru “dibajak” para bandit politik ini ke ranah politik praktis berbau identitas.
Para bandit politik ini ibarat serigala berbulu domba. Mereka biasanya bicara idealis dalam forum-forum intelektual. Namun di tataran politik praktis, segala cara mereka gunakan untuk meraih kekuasaan. Tidak hanya identitas suku agama dan ras, namun uang juga dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai kekuasaan.
Praktik perbanditan politik identitas ini telah menciptakan dikotomi sosial di dalam masyarakat. Masyarakat dibentuk menjadi individu-individu primordial yang acap kali intimidatif terhadap suku, agama dan ras minoritas.
Praktik perbanditan politik identitas ini jelas tidak edukatif dan merupakan pembodohan rakyat. Rakyat seharusnya mendapatkan political socialization untuk mencapai aktualisasi diri dalam kedudukannya sebagai warga negara.
Para bandit yang menggunakan politik identitas sebagai alat politik harus dilawan dengan cara tidak memilih mereka. Political socialization perlu dilakukan agar rakyat semakin cerdas dalam menggunakan hak politiknya. Jika rakyat cerdas dalam menggunakan hak politiknya maka hakikat politik sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan niscaya bisa tercapai.
Vox Populi Vox Dei (suara rakyat suara Tuhan).