Jemput Bocah Penderita Kanker di Ujung Ajal

BERITA14 Dilihat

Oleh : Sipri Klau


Pemimpin Redaksi jurnal-NTT.com

——————————————————–

Mata saya berkaca-kaca.Ya, hati saya sedih ketika tiba di rumah Martinus Bait, bocah penderita kanker di Desa Fatukona, Kecamatan Takari, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Kisah ini berawal pada Sabtu (25/9/2021) pagi. Saat itu, akun Facebook bernama Albert Sanam Sanam memosting kondisi seorang bocah kurus tanpa baju. Ada pemandangan yang menyayat hati. Segumpal daging bergelantungan di pipi bocah itu.

Setelah dicermati, ternyata gumpalan daging yang bergelantungan itu adalah telinga kiri bocah itu beserta isinya yang sudah mengeluarkan nanah. Tubuh bocah itu sangat kurus. Kaki dan tangannya mengecil. Tubuhnya hanyalah kulit membungkus tulang.

Sekali lagi, hati tersayat ! Kondisi bocah kurus itu menggugah nurani. Secara spontan saya memikirkan cara untuk bisa berbuat sesuatu.

Saya mulai mencari informasi dengan menginbox akun Facebook Albert Sanam Sanam. Saya meminta nomor kontak salah satu keluarga dari bocah Martinus.

Beberapa saat kemudian Akun Albert Sanam Sanam membalas pesan saya dengan mengirim nomor kontaknya. Saya langsung mengontak Albert yang saat itu sedang berada di rumah bocah Martinus.

Albert kemudian meminta saya untuk berbicara langsung dengan Ibunda Martinus melalui sambungan telepon. Di ujung telepon, Hagar Appa, ibunda Martinus menuturkan secara singkat tentang riwayat penyakit puteranya itu.

Saya juga mendapatkan informasi dari Albert tentang lamanya perjalanan, jarak tempuh serta kondisi jalan raya menuju Desa Fatukona.

Pembicaraan melalui telepon kami akhiri. Setelah mendapat informasi terkait kondisi bocah Martinus, saya memikirkan lagi tentang cara yang harus saya lakukan untuk membantu Martinus dan orang tuanya.

Setelah berpikir beberapa saat, saya memutuskan untuk menjemput Martinus dengan mobil dan membawanya ke rumah sakit untuk dirawat.

Dengan segala keterbatasan, saya mencari kendaraan yang bisa membawa saya ke Fatukona yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya.

Setelah mendapat mobil, saya berangkat. Selain sopir, saya ditemani seorang teman yang sudah pernah mengunjungi Fatukona. Saat itu, waktu menunjukan Pukul 12.00 Wita. Saya rela berhutang ongkos angkut kepada pemilik kendaraan yang saya sewa.

Setelah melewati jalan terjal berbatu dan curam, tibalah kami di Fatukona. Saya tidak tahu, berapa kilo meter jalan yang kami tempuh. Namun kami baru tiba di Fatukona Pukul 15.00 Wita. Itu artinya, perjalanan kami memakan waktu tiga jam.

Setibanya di Fatukona, kami mencari alamat rumah Martinus. Warga sekitar menunjuk jalan setapak belum beraspal menuju rumah Martinus.

Beberapa menit kemudian, kami tiba di rumah Martinus yang terletak di luar pemukiman warga. Rumah kecil beratap daun, berlantai tanah dan satu kamar itu jauh dari kata layak huni.

Di rumah yang sepi itu, saya hanya menemukan seorang pemuda yang menderita sakit lumpuh layu ditemani seorang anak kecil berusia kira-kira 10 tahun. Tubuh pemuda itu kecil terbungkuk. Ia lusuh dan sangat kurus.

Awalnya saya mengira, pemuda lumpuh layu itu adalah Martinus. Namun ternyata saya salah. Pemuda lumpuh itu bernama Marten Bait. Marten Bait adalah kakak kandung dari Martinus Bait, bocah penderita kanker yang saya cari.

Dalam perbincangan saya dengan Marten, saya mendapatkan informasi bahwa penyakit lumpuh layu yang dideritanya itu sudah dialaminya sejak usia lima tahun. Awalnya demam, panas tinggi dan kejang lalu lumpuh.

Marten yang saat ini berusia 20 tahun itu mengaku tidak bisa berjalan. Ia harus digendong oleh adik bungsunya ketika hendak melakukan aktivitas mandi dan kakus. Beruntung adik bungsunya itu selalu setia menjaganya.

Adik bungsu Marten ini harus berbagi peran dengan kedua orang tuanya yang juga sibuk mengurusi kakaknya Martinus.

Setelah memberikan sedikit oleh-oleh yang saya bawa dari Kupang kepada Marten dan adiknya, kami beranjak ke rumah nenek Marten dan Martinus, yang letaknya cukup jauh. Kami mendapat informasi bahwa saat itu, Martinus dibawa oleh kedua orang tuanya ke rumah neneknya.

Saya memeluk Marten dan adik kecilnya lalu saya pamit. Lagi-lagi, hati tersayat melihat kondisi itu. Rasanya tidak rela meninggalkan Marten dan adiknya dalam kondisi sulit seperti itu.

Kami melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan terjal menuju rumah nenek Martinus yang terletak di RT 07, RW O4, Desa Fatukona.

Setelah menempuh perjalanan selama 45 menit, tibalah kami di rumah nenek Martinus. Sebuah rumah kecil beratap daun, berlantai tanah dan hanya memiliki satu kamar.

Ketika memasuki rumah beratap daun berukuran sekitar 3×3 meter dan berlantai tanah itu, saya sangat sedih.

Tak hanya kondisi penyakit Martinus yang membuat saya sedih. Kondisi rumah yang ditempati Martinus dan kedua orangtuanya itu hanya memiliki satu kamar dan satu tempat tidur. Martinus dengan kondisi penyakitnya yang parah itu harus rela tidur di tempat tidur kayu beralaskan tikar tanpa kasur.

Kondisi Martinus sekarat. Luka yang diduga diakibatkan penyakit kanker tersebut (maaf) sudah mengeluarkan aroma yang cukup menyengat. Di ruangan sempit dan gelap itu Martinus terbaring lemah.

Di saat melihat saya, Martinus berusaha untuk bangun meskipun harus menangis karena tidak mampu menahan rasa sakit di telinganya.

Hagar mengisahkan, Martinus sudah sakit saat berusia lima tahun. Awalnya, Martinus mengalami demam, lalu kejang-kejang kemudian mengalami kelumpuhan. Penyebab sakit yang diderita Martinus sama dengan sakit yang diderita kakaknya Marten.

Di usia lima tahun, Martinus mengalami demam tinggi lalu tiba-tiba kejang dan lumpuh. Akibat penyakitnya itu, Martinus tidak bisa bersekolah.

Martinus yang saat ini berusia 14 tahun harus menghabiskan waktunya di atas tempat tidur. Ia tidak bisa bermain seperti kebanyakan anak seusianya. Ia hanya bisa melakukan aktivitas mandi dan kakus. Itupun harus digendong orang lain. Martinus tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti yang dialami teman-teman sebayanya.

Kondisi penyakit Martinus terus memburuk. Pada bulan Oktober tahun 2020, tumbuh benjolan di area telinganya. Benjolan itu makin membesar.

Hagar Appa dan Agustinus Bait, ayah dari bocah Martinus Bait, hanya bisa mengobati benjolan di telinga anaknya itu menggunakan ramuan tradisional. Bukannya membaik, kondisi penyakit Martinus makin memburuk.

Benjolan itu pecah. Segumpal daging bersama daun telinga Martinus bergelantungan dan bernanah. Bau busuk menyengat. Kondisi Martinus semakin kritis.

Kedua orang tua Martinus pasrah. Martinus tidak pernah dibawa ke rumah sakit karena tidak ada biaya untuk berobat. Maklum Hagar dan Agustinus hanyalah petani gurem di desanya.

Setelah berbincang sejenak, saya menyampaikan niat saya kepada Hagar dan Agustinus untuk membawa Martinus ke rumah sakit.

Niat saya itu disambut baik. Hagar dibantu beberapa kerabatnya, menyiapkan barang-barang yang diperlukan selama masa perawatan Martinus di rumah sakit.

Setelah barang-barang dikemas, Agustinus menggendong Martinus ke mobil. Sebuah tikar dibentang di atas bak mobil sebagai alas duduk.

Martinus dipangku sang ibu dan ayahnya secara bergantian selama perjalan ke rumah sakit. Di atas mobil pick up yang kami tumpangi, Martinus terus menangis menahan rasa sakit di bagian telinganya.

Setelah menempuh perjalan selama tiga jam lebih, tibalah kami di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Naibonat. Saat itu waktu menunjukkan Pukul 19.00 Wita.

Setelah didaftarkan di loket pendaftaran, dokter melakukan observasi awal di salah satu ruangan. Hasil observasi awal, dokter yang menangani Martinus mengatakan bahwa kemungkinan besar, penyakit yang diderita Martinus adalah penyakit kanker. Namun menurut dokter itu, hasil observasi awal itu harus diperkuat dengan tindakan medis lain sesuai rekomendasi dokter spesialis anak untuk memastikan apakah penyakit yang diderita Martinus itu adalah kanker atau penyakit lain.

Di IGD RSUD Naiboanat, Martinus mendapat beberapa tindakan medis seperti foto Rontgen dan pembersihan luka di telinga serta pemasangan alat saturasi oksigen O2.

Beberapa jam kemudian, dokter memutuskan untuk merujuk Martinus ke Rumah Sakit Umum W.Z. Yohanes Kupang untuk mendapat perawatan lanjutan.

Saat ini, Martinus masih terbaring lemah di kamar nomor sembilan, ruang rawat inap Mawar RSUD W.Z. Yohanes Kupang. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar