Diduga PSU di Kefamenanu Ilegal, Ketua KPU TTU dan Ketua Bawaslu TTU Dilaporkan

Ilustrasi

Kupang,jurnal-NTT.com – Aliansi Peduli Demokrasi (APD) Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi NTT melaporkan Ketua KPU Kabupaten Timor setengah Utara (TTU) ke KPU Provinsi NTT. APD TTU juga melaporkan Ketua Bawaslu Kabupaten TTU ke Bawaslu Provinsi NTT. Laporan tersebut perihal pengaduan atas Pemungutan Suara Ulang (PSU) di TPS 17 Aplasi Kefamenanu Kabupaten TTU yang diduga ilegal.

Sesuai press release yang diterima media ini, Jumat (15/03/2024), APD TTU memohon kepada Ketua Bawaslu RI dan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Republik Indonesia untuk :
1.menyelidiki, menilai dan menjatuhkan sanksi hukuman kepada oknum KPUD, Bawaslu, KPPS dan oknum anggota panitia lain yang terbukti terlibat kecurangan dalam PSU di TPS 17 Kelurahan Aplasi Kefamenanu.
2.Menjatuhkan sanksi administrasi kepada oknum Ketua KPUD, Ketua Bawaslu, KPPS dan oknum anggota panitia lain yang terbukti terlibat kecurangan dalam PSU di TPS 17 Kelurahan Aplasi Kefamenanu.

3. Mendiskualifikasi oknum-oknum caleg yang diduga terlibat konspirasi kecurangan dalam PSU di TPS 17 Kelurahan Aplasi Kefamenanu.
4. Membatalkan hasil PSU di TPS 17 Kelurahan Aplasi Kefamenanu dan mengakui raihan suara sebanyak 163 atas nama caleg partai Hanura Jeheskial E.Nenotek,Sip.

Dalam rilis resminya itu, Jeheskial E.Nenotek,Sip sebagai Ketua Umum dan Marthen CH Dethan, Koordinator Lapangan
bertindak atas nama seluruh anggota Aliansi Peduli Demokrasi dan masyarakat TTU, mempertanyakan keabsahan penyelengaraan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 3 (tiga) TPS di Kefamenanu.

APD TTU melakukan penolakan atas PSU di 3 TPS tersebut karena diduga telah terjadi kecurangan yang melibatkan Ketua KPUD TTU Petrus Uskono dan Ketua Bawaslu TTU, Martinus Kolo.

APD meminta kepada Ketua Bawaslu RI dan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Republik Indonesia di Jakarta agar memproses pengaduan APD itu secara hukum.

Menurut release itu, penyelenggaraan PSU di Kabupaten TTU patut diduga sebagai tindakan ilegal yang penuh rekayasa, kecurangan, diskriminatif dan koruptif yang diduga melibatkan oknum caleg Provinsi dan dan oknum caleg perempuan di TTU.

Lokasi dan waktu PSU meliputi PSU di TPS 7 Kelurahan Aplasi Kefamenanu hari Sabtu, tanggal 24 Februari tahun 2024, TPS 4 Desa Bitefa, Sabtu, 24 Februari 2024 dan PSU di TPS 17 Kelurahan Maubeli Sabtu, 24 Februari 2024.

Menurut aliansi dalam press release, PSU di 3 TPS tersebut diduga ilegal karena:
Pertama, tidak ada pemberitahuan terkait PSU dari Petrus Uskono Ketua KPUD TTU Provinsi Nusa Tenggara Timur kepada seluruh pimpinan partai di Kabupaten TTU . Hal tersebut mengesankan seolah-olah penyelenggaraan PSU tersebut bersifat rahasia. Keadaan tersebut kemudian memunculkan dugaan penyalahgunaan wewenang “detournement de pouvoir/abuse of authority” yang berpotensi menimbulkan adanya tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme serta tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip keterbukaan “transparansi” pemerintahan

Karena itu, diduga ada kemungkinan keterkaitan penyelenggara Pemilu guna memenangkan oknum calon legislatif (caleg) tertentu tingkat kabupaten dan provinsi.

APD TTU menduga, penyelenggaraan PSU di 3 TPS tersebut sarat nepotisme dan diskriminasi sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia sesuai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kedua, diskriminasi karena alasan perbedaan suku, agama, ras dan perbedaan latar belakang politik lanjut APD TTU, sangat dilarang di dalam demokrasi dan negara hukum Indonesia baik negara hukum tipe Eropa kontinental yang ditandai dengan rechstaat maupun negara hukum sistem hukum Anglo saxon / common law yang ditandai dengan the rule of law.

Kedua tipe negara hukum tersebut mengendepankan perlindungan hak asasi manusia (HAM) sebagai isu utama bagi negara-negara moderen welfare state termasuk Indonesia.

KPUD TTU dan Bawaslu sebagai bagian integral dari lembaga eksekutif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya wajib mentaati asas-asas tata kelola pemerintahan yang baik seperti, asas larangan diskriminatif dan kewajiban transparan.

Penyelenggaraan PSU di TPS 7 Kelurahan Aplasi Kota Kefamenanu 24 Februari tahun 2024 membuktikan, adanya pelanggaran HAM dalam bentuk diskriminatif seperti yang dialami Jeheskial E.Nenotek,Sip, calon DPRD Kabupaten TTU Dapil 1 dari partai Hanura.

Pada saat pencoblosan tanggal 14 Februari 2024, di`TPS 7 Kelurahan Aplasi Kefamenanu Jeheskial berhasil mengantongi 163 suara sebanyak 163 sesuai kartu suara C1. Namun pasca PSU, Jeheskial E.Nenotek hanya memperoleh 14 suara. Tidak diketahui perolehan suara sebelumnya berpindah ke caleg siapa. Karena itu perlu secepatnya ditelusuri.

Ketiga. Dari perspektif hukum pidana dan pelanggaran HAM, maka KPUD TTU, Bawaslu TTU dan panitia Pemilu lain yang harus dimintakan pertanggung jawaban hukum. Mereka pasti mengetahui ke caleg siapa suara caleg Jeheskial E.Nenotek “disembunyikan”.

Kecurangan dan diskriminasi dalam PSU di TPS 7 Kelurahan Aplasi tersebut diduga disebabkan karena adanya suap/korupsi, keberanian melanggar hukum dan kompromi oknum penyelenggara pemilu dengan oknum caleg tertentu.

Keempat Kajian hukum.
Secara hakiki penyelenggaraan PSU di TPS 7 Kelurahan Aplasi illegal/ tidak sah. Pasal 372 ayat (1) dan (2) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) menentukan, pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan. Ayat (2) menentukan, pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan pengawas TPS terbukti terdapat keadaan:

Pembukaan kotak dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

Petugas KPPS meminta pemilih memberikan tanda khusus, menandatangani atau menuliskan nama atau alamat, pada surat suara yang sudah digunakan.
Petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah, dan/atau pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan.

Penggunaan ketentuan Pasal 372 ayat (2) huruf d UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, oleh KPUD atas rekomendasi Bawaslu TTU untuk melakukan PSU sebagai justifikasi hukum, merupakan suatu kesesatan logika berpikir yuridis. Oleh sebab itu, langkah penyelenggaraan PSU di 3 tempat di Kabupaten TTU sebagai langkah illegal oleh KPUD atas rekomendasi Bawaslu TTU yang dapat dikategori sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan “onrechtmatige over heids daad”.

Konsekuensi yuridisnya yakni, Ketua KPUD dan Ketua Bawaslu dan panitia terkait harus diproses secara hukum.

Pelanggaran lain, di TPS Aplasi yaitu, terjadi juga perbuatan melanggar hukum karena KPPS mengizinkan 7 (tujuh) warga TTU yang ber KTP luar (tidak ber KTP TTU) untuk mencoblos. Keadaan semacam itu, justru “direstui” Bawaslu TTU, kendati tujuh warga TTU berKTP luar tersebut menggunakan hak mereka secara illegal.

Penyelenggaran PSU sesuai informasi yang dihimpun (dari sumber yang enggan disebutkan namanya) kepada Pengurus Aliansi Peduli Demokrasi TTU Provinsi NTT mengatakan,” surat perintah dari KPUD untuk melakukan persiapan penyelenggaraan PSU itu secara mendadak yaitu, pada tanggal 23 Februari malam sebelum hari pelaksanaan PSU keesokan harinya 24 Februari 24. Sehingga persiapan PSU kurang dari satu hari penuh.

Sumber itu, menyatakan siap untuk mempertanggung jawabkan jika diperlukan.
Prosedur penyelenggaraan PSU secara mendadak tanpa pemberitahuan kepada pimpinan partai se TTU, di TPS 7 Kelurahan Aplasi illegal karena tidak sesuai ketentuan Pasal 373 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan bertentangan dengan Keputusan KPU No.66 Tahun 2024 Tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum. Dalam Keputusan KPU tersebut ditegaskan, PSU harus diusulkan KPPS dengan menyebutkan alasan-alasan mendasar terkait keadaan-keadaan yang menyebabkan diadakannya PSU.

Tetapi sesuai penjelasan Ketua KPUD TTU, Petrus Uskono bahwa penyelenggaraan PSU di TTU atas inisiatif dan rekomendasi Ketua Bawaslu, Martinus Kolo.

Menurut informasi yang dihimpun Aliansi Keterangan Ketua Bawaslu mengenai tujuh orang pemilih dari luar itu tidak benar. Sebab mereka semua merupakan warga asli disitu. Pada saat pemilihan itu dari 7 (tujuh) orang ini hanya satu yang menerima surat suara kabupaten dan enam lainnya tidak menerima surat suara kabupaten dan ketika dikroscek oleh KPPS ditemukan betul bahwa ada kekeliruan.

Tetapi ketika Ketua KPUD serta Ketua Bawaslu datang dan memanggil pengawas, kemudian dibuatkan kesepakatan diantara mereka bahwa surat suara dari 6 (enam) orang yang tidak mencoblos kabupaten dikatakan terbakar.

Dengan begitu, semua proses di TPS 7 Kelurahan Aplasi tetap berjalan hanya saja secara tiba-tiba muncul surat perintah mendadak untuk melakukan PSU dari Ketua KPUD.

Selanjutnya, Jubir KPUD TTU dihadapan massa demonstran dari Aliansi Masyarakat Peduli Demokrasi TTU yang menolak PSU ( 2/3-2024) menjelaskan, penyelenggaraan PSU sesuai rekomendasi Bawaslu kepada KPUD tentang adanya temuan pelanggaran sebagaimana yang diatur pada huruf (d) pasal 372 ayat (2) UU No.7 Tahun 2017. Atas rekomendasi tersebut, sehingga KPUD melakukan rapat pleno dan memutuskan diselenggarakan PSU.

Bawaslu (3/3-2024) mengatakan, rekomendasi yang diajukannya itu berdasarkan temuan bahwa pengawas pemilu mengetahui ada 7 pemilih yang tidak memiliki KTP atau memiliki KTP luar tetapi oleh KPPS tetap membiarkannya mencoblos.

Maka berdasarkan kronologi penjelasan ini terbukti adanya upaya terstruktur, sistematis dan massif terjadinya kecurangan dalam PSU di TPS 7 Kelurahan Aplasi Kefamenanu.

Secara hakiki penyelenggaraan PSU yang diarahkan hanya untuk menopang oknum-oknum caleg tertentu di Kabupaten dan Provinsi yang berakibat merugikan, Jeheskial E.Nenotek dari partai Hanura dan merugikan caleg lain.Dihadapan massa demonstran dari Aliansi Masyarakat Peduli Demokrasi TTU yang menolak PSU, saat bertatap muka dengan Ketua KPUD TTU, Petrus Uskono memperihatkan penampilan agak canggung, terkesan gugup dan berusaha melempar tanggungjawab itu kepada Bawaslu, ia mengatakan persoalan penyelengaraan PSU TTU itu, atas perintah Bawaslu. Kami (KPUD) hanya menerima rekomendasi dari Bawaslu untuk PSU.

Pada hari berikutnya Ketua Bawaslu Martinus Kolo, yang ditemui para demonstran dari Aliansi Masyarakat Peduli Demokrasi TTU, mengatakan bahwa ketika kejadian pengawas tahu bahwa ada pemilih tidak ber KTP TTU (ber KTP luar daerah) yang tidak memiliki hak pilih, tetapi KPPS mengijinkan “membiarkan”, mencoblos pada tanggal 14 Februari 2024.

Argumentasi Ketua Bawaslu tersebut tidak mendasar/fundamental, sehingga kepadanya wajib dimintakan pertanggungjawaban hukum dan motivasinya memerintahkan PSU di TPS 7 Kelurahan Aplasi.

Sebab, masyarakat TTU mengetahui persis hubangan Ketua Bawaslu TTU, Martinus Kolo dengan seorang oknum caleg provinsi NTT dan oknum caleg perempuan untuk Kabupaten.

Adanya sikap permisif dan melindungi KPPS yang pada saat pencoblosan di hari Pemilu 14 Februari 2024, membolehkan 7 (tujuh) warga TTU (ber KTP luar TTU) untuk mencoblos oleh Ketua KPUD, Petrus Uskono dan Ketua Bawaslu TTU, Martinus Kolo. Sikap perlindungan terhadap KPPS yang bersangkutan itu diketahui dari pernyataan yang sama dari Ketua KPUD, Petrus Uskono dan Ketua Bawaslu TTU, Martinus Kolo dengan alasan karena pleno tingkat kecamatan sudah selesai sehingga KPPS tidak bisa dipanggil.

Pengaduan APD TTU tersebut ditujukan kepada Ketua KPU Provinsi NTT dan Ketua Bawaslu Provinsi NTT dengan tembusan kepada Ketua Bawaslu RI di Jakarta sebagai laporan, Ketua DKPP RI di Jakarta sebagai laporan dan Ketua KPU RI di Jakarta sebagai laporan. (epy)