Kupang,jurnal-NTT.com – Pakar Hukum Perdata, Undana Kupang, Dr.Saryono Yohanes SH.MH dan Pakar Hukum Pidana Unwira Kupang, Mikhael Feka, SH.MH yang menjadi saksi ahli dalam kasus dugaan penipuan dan penggelapan dengan terdakwa WL menjelaskan, setiap kasus yang terkait masalah perjanjian utang piutang tidak bisa disidangkan secara hukum pidana.
“Majelis Hakim harus bijak dalam menentukan kasus yang sedang terjadi sesuai dengan Perma No 1 tahun 1956 (apabila terjadi dua kasus hukum perdata dan pidana maka hakim harus menangguhkan kasus pidananya) dan ini jelas”.
Hal ini dijelaskan saksi ahli, Dr. Saryono Yohanes, SH.MH dan Mikhael Feka, SH.MH saat menjawab pertanyaan Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat Hukum terdakwa dalam sidang kasus dugaan penipuan dan penggelapan dengan terdakwa WL yang kembali digelar di ruang Cakra, Pengadilan Kelas I A Kupang, Rabu (2/6/2021).
Dalam keterangannya, Saryono menjelaskan bahwa setiap kasus yang terkait masalah perjanjian utang piutang tidak bisa disidangkan secara hukum pidana. Karena itu, ia meminta majelis hakim harus bijak dalam menentukan kasus yang sedang terjadi (dugaan penipuan dan penggelapan dengan terdakwa WL) sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma RI) No 1 tahun 1956 (apabila terjadi dua kasus hukum perdata dan pidana maka hakim harus menangguhkan kasus pidananya).
Saryono menambahkan, sidang kasus penipuan dan penggelapan tersebut tidak sesuai dengan perundang-undangan yang sudah ada dan bertentangan dari segi Hak Asasi Manusia HAM) yakni Pasal 19 ayat (2), Undang – Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (atas ketidakmampuan Debitur tidak bisa dikenakan hukuman penjara ataupun kurungan).
Senada dengan Dr.Saryono, Saksi Ahli Pidana, Mikhael Feka, SH.MH, saat dimintai pendapatnya oleh majelis hakim terkait cek kosong yang diberikan oleh WL kepada Yano Laimonta (pemilik toko Cay Chong) tidak bisa dikenakan hukum pidana.
Mikhael menjelaskan, perbuatan pemberian cek kosong itu tidak bisa dikenakan hukum pidana melainkan hukum perdata sebab terkait dengan perjanjian utang piutang.
“Dari awal pihak debitur (WL) melaksanakan kewajibannya membayar angsuran.Tetapi di tengah perjalanan dia tidak mampu membayar tetap tidak bisa dikenakan hukum pidana, sesuai Perma Pasal 1, Nomor 56 (Apabila terjadi kasus hukum pidana dan perdata pada obyek yang sama hakim harus menangguhkan perkara pidananya sambil menyelesaikan hukum perdatanya).
Perjanjian masuk dalam hukum perdata dan bukan pidana. Jika sejak awal debitur memberikan cek kosong itu baru masuk dalam hukum pidana. Sedangkan kasus yang terjadi saat ini adalah ketidakmampuan debitur mengansur di tengah perjalanan dan itu bukan dikategorikan dalam hukum pidana. Hukum sudah jelas dan ada di dalam Undang – Undang 39 tahun 1999 pasal 1 ayat 2 “, jelas Mikhael.
Sementara itu, tim penasihat hukum terdakwa yakni Bernard Anin dan Joni E. Liunima, menjelaskan, setelah mendengarkan keterangan saksi ahli hukum pidana dan perdata, berkeyakinan bahwa status hukum pidana yang ditujukan kepada kliennya merupakan suatu proses hukum yang tidak sesuai undang undang dan melanggar HAM. Ditambahkan Bernard, keterangan saksi ahli sudah sesuai hukum yang berlaku.
Menurut Bernard, masalah utang piutang tidak bisa dikenakan hukum pidana. Pihak yang merasa dirugikan harus menempuh jalur hukum perdata (wanprestasi).
Dalam kasus dugaan penipuan dan penggelapan dengan terdakwa WL tersebut, lanjut Bernard, saat ini pihak pelapor sedang melakukan mediasi dengan pihaknya selaku penasihat hukum terdakwa.
“Ini sudah ditempuh oleh pelapor sendiri kepada pihak kami dan sampai saat ini pihak pelapor masih melakukan mediasi kepada pihak kami”, jelas Bernard.
Bernard menjelaskan, penahanan terhadap klien mereka merupakan pelanggaran HAM.
“Kami melihat dengan ditahannya klien kami, ini sudah melanggar HAM. Kasus Perdata belum diselesaikan sudah dikenakan kasus pidana. Dan ini sudah melanggar HAM sesuai Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999, pasal 19 ayat 2 dan Perma No 1 tahun 1959 “, pungkas Bernard Anin.
Selain itu, salah satu kerabat dekat terdakwa yang ditemui wartawan usai sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Budi Aryono tersebut, mengatakan, dirinya baru paham setelah menyimak keterangan saksi ahli pidana dan perdata dalam sidang tersebut.
“Kami sebagai orang yang tidak mengerti hukum akhirnya bisa mengerti, setelah mendengar penjelasan saksi ahli perdata maupun pidana. Masa para Majelis Hakim serta jaksa penuntut yang mengerti hukum dan tau peraturan serta undang undang tidak tahu menempatkan status hukum seseorang yang diduga melakukan penipuan dan penggelapan masuk hukum pidana atau perdata. Ini melanggar HAM. Seseorang yang belum dinyatakan bersalah secara hukum perdata tetapi sudah dipidanakan dan ditahan. Ini sangat mencoreng hukum yang ada di Indonesia. Pertanyaan yang diberikan jaksa penuntut umum kepada ahli perdata menunjukkan seorang jaksa penuntut yang tidak berkualitas,” tutup pengunjung yang tidak mau disebutkan namanya.
Untuk diketahui, kasus dugaan penipuan dan penggelapan tersebut dilaporkan oleh pengusaha Yano Laimonta (pemilik toko Caycong Kupang). Kasus tersebut bermula dari ingkar janji yang terjadi dalam hubungan kerjasama dagang antara WL dan Yano Laimonta. WL dituduh telah ingkar janji dalam hubungan kersaja sama tersebut. Setelah dilaporkan ke polisi, WL dikenakan pasal dalam hukum perdata dan pidana. Namun status hukum WL belum diputuskan secara perdata tetapi sudah ditahan dalam kasus pidana penipuan dan penggelapan.(epy)