—————————————————————————
Editorial
Oleh : Sipri Klau
Selasa (15/06/2021), Bupati Malaka, Dr. Simon Nahak, SH.MH resmi mengeluarkan Surat Keputusan pemberhentian 3000 lebih Tenaga Kontrak Daerah (Teda) yang bekerja di lingkup pemerintah Kabupaten Malaka.
Dua alasan mengemuka terkait pemberhentian ribuan Teda itu. Alasan pertama adalah perekrutan Teda di masa pemerintahan sebelumnya tidak sesuai Analisis Beban Kerja Organisasi Perangkat Daerah. Dan alasan kedua adalah pemborosan anggaran.
Pro-kontra pemberhentian Teda ini menjadi tranding topik di Facebook dan WAG.
Dua alasan yang dikemukakan Bupati Malaka ini tentu akan sulit diterima oleh mereka yang merasa “dirugikan” atas kebijakan itu. Namun jika ditelisik lebih dalam, kebijakan Bupati Malaka tersebut sangat tepat, cerdas dan pro rakyat.
Perekrutan Teda di masa pemerintahan sebelumnya disinyalir dilakukan berdasarkan kepentingan politik semata. Teda direkrut sebagai alat politik penguasa. Bukan berdasarkan Analisis Beban Kerja Organisasi Perangkat Daerah. Kebijakan perekrutan Teda demikian bisa dikualifikasikan sebagai tindakan abuse of power.
Sistem perekrutan Teda yang amburadul ini dinilai Bupati Simon sebagai kebijakan yang harus direvisi. Kebijakan revisi ini merupakan implementasi atas tujuh prinsip good governance yaitu profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi dan partisipasi, efisiensi dan efektivitas serta supremasi hukum.
Bupati Simon tentu tak asal bicara lalu membuat kebijakan. Bupati yang berlatar belakang sebagai praktisi hukum ini sudah mengantongi data terkait buruknya sistem perekrutan dan penempatan Teda yang tidak sesuai tugas pokok dan fungsinya.
Publik tercengang, ketika Dr.Simon secara gamblang membongkar kebobrokan sistem perekrutan Teda di masa pemerintahan sebelumnya. Fakta menyeruak, ternyata ada oknum Teda yang bekerja “semau gue” tapi setiap bulan menerima gaji dari pemerintah daerah. Ada oknum Teda yang bekerja sebagai penjaga kebun oknum pejabat pemerintahan.
Ada oknum Teda yang merangkap kerja sebagai pengawas proyek dan kontraktor. Ada oknum Teda yang bekerja sebagai karyawan apotik milik oknum pejabat pemerintahan. Ada oknum Teda yang bekerja sebagai karyawan usaha foto copy milik oknum pejabat pemerintahan. Ada juga oknum Teda ditugaskan untuk memberi makan binatang babi dan sapi milik oknum-oknum pejabat pemerintahan.
Ada juga oknum Teda yang bekerja sebagai sopir mobil rental. Ada oknum Teda yang bekerja sebagai security di Kupang. Bahkan informasi yang beredar, ada oknum Teda yang saat ini sudah bekerja di Malaysia tapi masih mendapat gaji dari Pemerintah Kabupaten Malaka. Sungguh naif !
Fakta mengenai tugas pokok dan fungsi Teda yang menyimpang ini membuat Bupati Simon berang dan mengeluarkan SK pemberhentian Teda. Fakta ini juga memberi pesan kuat bahwa kontribusi Teda tidak berbanding lurus dengan besaran anggaran yang dikucurkan untuk membayar hak mereka. Padahal seharusnya ada keseimbangan antara hak dan kewajiban yang sering disebut Bupati Simon dengan istilah “No work no pay”.
Alasan lain dari pemberhentian 3000 lebih Teda di Malaka adalah pemborosan anggaran. Alasan ini tentu sangat dibenarkan. Betapa tidak, setiap tahun, Pemkab Malaka harus mengalokasikan anggaran dari Dana Alokasi Umum sebesar Rp 57 miliar untuk membayar gaji 3000 lebih Teda di Kabupaten Malaka. Anggaran yang cukup fantastis.
Keuntungan dari kebijakan Bupati Malaka ini adalah pemborosan anggaran untuk gaji para Teda di masa pemerintahan sebelumnya, diganti Bupati Simon dengan pemangkasan anggaran untuk kebutuhan dasar rakyat kecil, yang tentunya akan dinikmati juga oleh para Teda yang diberhentikan beserta keluarganya.
Selain penghematan anggaran, kebijakan pemberhentian para Teda ini membuka ruang bagi Bupati dan Wakil Bupati untuk mengevaluasi kinerja para Teda. Evaluasi kinerja itu mutlak dilakukan sebagai langkah untuk mengoptimalkan peran Teda dalam melaksanakan tupoksinya sesuai asas profesionalitas, efisiensi, efektivitas dan pelayanan prima.
Dalam berbagai kesempatan, Bupati Simon berkali-kali menyampaikan kepada publik bahwa setelah pemberhentian ribuan Teda tersebut akan ada perekrutan Teda lagi. Namun perekrutan Teda yang baru itu harus berdasarkan analisis beban kerja Organisasi Perangkat Daerah. Bupati Simon juga memberi sinyal bahwa para Teda yang memiliki kompetensi dan kinerja yang baik sesuai bidangnya, pasti akan direkrut kembali.
Pernyataan Dr.Simon ini membuktikan bahwa pemberhentian para Teda ini murni merupakan bentuk evaluasi kinerja yang berefek penghematan anggaran. Tak ada dendam politik dan balas jasa politik.
Kebijakan pro rakyat Bupati Simon ini harus didukung semua stakeholder di Kabupaten Malaka sembari berharap ada solusi penyiapan lapangan kerja untuk mengatasi pengangguran pasca pemberhentian ribuan Teda tersebut.
Penyiapan lapangan kerja adalah kewajiban pemerintah dan hak warga negara sesuai amanat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”.
Namun, para Teda yang diberhentikan sebaiknya tak usah menggantungkan harapan pada pemerintah untuk direkrut kembali menjadi Teda. Sebab Teda bukan satu-satunya lapangan pekerjaan.
Usia produktif yang dimiliki harus dipergunakan sebaik mungkin untuk melirik dan menciptakan peluang kerja di sektor lain.
Kreativitas untuk mengolah potensi alam yang berlimpah di Kabupaten Malaka misalnya, bisa menjadi peluang kerja yang menjanjikan ketimbang menjadi Teda. Konkritnya, sektor pertanian dan peternakan bisa dilirik sebagai salah satu peluang kerja untuk menghidupi diri dan keluarga. Namun semua harapan itu tergantung pada kemauan untuk memulai.
Ada kata bijak, “jika ingin menjadi pengusaha sukses tapi tidak punya modal uang, gunakan saja modal dengkulmu untuk menjadi pengusaha sukses”.
Salam !