Kupang, jurnal-NTT.com – Setiap persoalan sosial yang timbul di perbatasan Republik Indonesia – Republik Demokratik Timor Leste bisa diselesaikan dengan instrumen hukum adat. Bahkan pemerintah kedua negara dapat membentuk Peraturan Daerah (Perda) Provinsi atau Perda Kabupaten sebagai instrumen hukum untuk menyelesaikan persoalan sosial yang terjadi di perbatasan kedua negara.
Demikian intisari dari Seminar Internasional bertajuk “Peranan Hukum Adat dalam Penyelesaian Persoalan Sosial di Perbatasan Republik Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste yang digelar pada Jumat (17/05/2024).
Seminar internasional tersebut terselenggara atas kerjasama Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIKUM) Prof.Dr.Yohanes Usfunan, SH.,MH dan Universidade Oriental Timor Lorosae (UNITAL) yang berbasis di Dili, Republik Demokratik Timor Leste (RDTL).
Seminar internasional yang dipandu jurnalis senior, Sipri Klau, SH, selaku moderator tersebut menghadirkan tiga narasumber yakni Pater Dr.Gregorius Neonbasu, SVD, Rektor UNITAL, dr.Joaquim de Jesus Vaz, Lic.,Med.,GB.,PG.Ep.,MF, Ketua Program Studi Hukum STIKUM, Volkes Nanis, SH.,MH.
Rektor UNITAL didampingi Wakil Presiden Yayasan FUNATIL dan Dekan Fakultas Perikanan UNITAL, Mateus Salvador, M.,Sc.
Dalam sambutannya secara Virtual dari Denpasar Bali, Direktur sekaligus pemilik STIKUM, Prof.Dr.Yohanes Usfunan, SH.,MH, mengatakan, kedatangan Rektor UNITAL, dr.Joaquim de Jesus Vaz, Lic.,Med.,GB.,PG.Ep.,MF, bersama rombongan ke STIKUM merupakan sebuah kebahagian dan kebanggaan bagi seluruh civitas akademika STIKUM.
Menurutnya, latar belakang terselenggaranya seminar internasional itu adalah bahwa antara Indonesia dan RDTL memiliki kesatuan dalam kebudayaan dan adat istiadat. Seminar internasional tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi pemilikan konseptual dan kritis kepada para pengambil kebijakan di pemerintahan kedua negara. Seminar internasional tersebut merupakan wujud partispasi dan kontribusi universitas bagi kedua negara yakni Republik Indonesia dan RDTL.
“Kita tahu bahwa kedua bangsa ini bersatu dalam satu kebudayaan dan adat. Karena bersatu dalam satu kebudayaan dan adat maka kami pandang untuk perlu kita selenggarakan seminar internasional ini agar kita dapat memberikan kontribusi pemikiran konseptual dan kritis kepada para pengambil kebijakan pemerintahan kedua negara”, jelasnya.
Menurut Prof Yohanes, pemerintah Negara Republik Indonesia dan Nagara RDTL dapat menggunakan instrumen hukum adat untuk menyelesaikan persoalan sosial yang terjadi di perbatasan kedua negara. Bahkan pemerintah kedua negara bisa membentuk peraturan daerah (Perda) tingkat Provinsi dan Perda tingkat Kabupaten untuk menyelesaikan persoalan sosial yang terjadi di wilayah perbatasan
Namun menurutnya, kendala yang dihadapi negara RDTL dalam upaya pembentukan Perda tersebut adalah belum adanya asas desentralisasi otonomi daerah yang memberi kewenangan penuh kepada daerah untuk membentuk Perda.
Ia menjelaskan, penyelesaian persoalan sosial di perbatasan RI -,RDTL menggunakan instrumen hukum adat dapat dilakukan oleh pemerintah kedua negara. Sebab RI – RDTL memiliki budaya dan adat istiadat yang sama.
Lanjutnya, Ketentuan pembukaan konstitusi dasar Negara RDTL maupun pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 berkaitan dengan bagaimana negara bertindak untuk memberikan proteksi kepada negara dan bangsa.
Dalam Pasal 1 Ayat (1), Konstitusi Dasar Negara RDTL menyatakan, Republik Demokratik Timor Leste adalah negara hukum yang demokratis, berdaulat berdasarkan hukum. Dalam pasal 2 ayat (2) konstitusi dasar RDTL juga mengamanatkan bahwa Nagara tunduk pada undang – undang dasar dan hukum negara. Amanat konstitusi dasar RDTL tersebut selaras dengan amanat Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Oleh karena itu, secara ideologi, pembukaan UUD 1945 yang ada dalam konstitusi dasar tahun 2022 tersebut mengisi cita-cita bangsa yang cita hukum. Cita-cits bangsa dan cita hukum yang dipahami sebagai suatu recht idee (cita hukum) yang bernuansa pada persoalan kepastian hukum dan keadilan.
Menurutnya, negara hukum berkaitan erat sebagai justifikasi akademik dan justifikasi teoritik terhadap perlunya penyelenggaraan, perlunya perlindungan hak asasi manusia termasuk perlindungan terhadap hukum adat.
Guru Besar Universitas Udayana Bali ini mengatakan, secara konstitusional, hukum adat sudah disebutkan secara limitatif dalam pasal 18 b ayat (2) UUD 1945. Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat adat, masyarakat tradisional.
Menurutnya, pengakuan terhadap hak asasi manusia baik di Timor Leste maupun di Indonesia disatukan dalam konteks negara kontinental yang mengutamakan terhadap pengakuan hak asasi manusia dan asas legalitas. Asas legalitas menunjukkan bahwa segala tindak-tanduk pemerintah dan masyarakat harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian dalam hal pengendalian negara terhadap persiapan-persoalan masyarakat.
Ia melanjutkan, masyarakat RDTL dan Indonesia memiliki satu ikatan lahir batin berkaitan dengan kebudayaan. Karena satu kesatuan adat istiadat dan budaya itulah maka seminar internasional yang dilaksanakan tersebut dapat berguna bagi kepentingan masa depan bangsa.
“Sebagai perguruan tinggi mencari solusi-solusi yang penting untuk menyelesaikan persoalan-persoalan adat dalam rangka mendukung penyelenggaraan pemerintah dalam bidang pertahanan keamanan dari negara masing-masing”, ungkapnya.
Ia berharap kedatangan delegasi UNITAL ke STIKUM tersebut dapat bermanfaat dan ada nilai aksiologinya untuk bangsa dan negara Indonesia.
Dr.Gregorius Neonbasu, SVD dalam materinya berjudul ” Hukum Adat yang Memerdekakan dalam Perspektif Antropologi Hukum”, menjelaskan bahwa manusia membutuhkan sketsa dan skema dalam rangka membangun pengertian dan mereview semua kegiatan. Karena itu, pembahasan mengenai hukum di perbatasan RI-RDTL dikaitkan dengan hukum adat itu akan mustahil tanpa sketsa dan skema.
Menurut Pater Gregorius, sketsa memahami budaya dalam tujuh hal yakni sistem religi, kepercayaan dan upacara keagamaan: sistem organisasi kemasyarakatan; sistem pengetahuan bahasa: kesenian: sistem mata pencaharian hidup dan pola dan modal teknologi. Ketujuh hal ini merupakan satu sketsa besar yang perlu dipahami jika berbicara tentang antropologi.
Ia mengatakan, skema secara geneologi, masyarakat adalah ilmu hukum dan serentak menjadi darah dan daging hukum. Karena itu sebutan ilmu hukum sudah seharusnya menjadi ilmu hukum dan masyarakat hukum adat.
Menurutnya, hukum itu hadir untuk menyiksa tetapi memerdekakan. Hukum bukan merupakan suatu skema yang final tetapi selalu bergerak berubah mengikuti kehidupan manusia yang progresif. Sebab itu hukum harus terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya kontekstual dan progresif untuk mencapai terang cahaya kebenaran dalam.mencapai puncak keadilan. Hakikat hukum adalah untuk menciptakan harmonisasi, kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan manusia.
Ia mengatakan, ibu kandung dari hukum positif adalah hukum adat. Hukum adat adalah sekumpulan masyarakat yang memiliki kesamaan leluhur yang terikat oleh sebuah tatanan.
Sementara Rektor UNITAL, Joaquim de Jesus Vaz, mengatakan, di Timor Leste, ada tiga hukum yaitu hukum negara, hukum adat dan hukum agama.
Joaquim mengatakan, sejak zaman dahulu, nenek moyang kita sudah mengenal hukum adat. Hukum adat tidak tertulis tetapi dijalankan, dihayati dan dimengerti.
Ia mencontohkan ketentuan hukum adat di wilayah Lospalos, RDTL yang sangat tegas.
“Di Lospalos kalau yang namanya om (saudara dari ibu) harus dihargai seperti Tuhan. Itu diturunkan dari nenek moyang kami jadi harus dihargai. Jadi siap uang melawan om berarti dia melawan Tuhan”, jelasnya.
Menurutnya, RDTL terbagi atas 13 distrik yang terdiri dari berbagai suku, ras dan agama. Namun toleransi di RDTL sangat tinggi.
Di RDTL, katanya, masyarakat lebih takut terhadap ketentuan hukum adat ketimbang hukum negara. Jika hukum negara berjalan tidak maksimal maka masyarakat RDTL lebih memilih untuk menggunakan hukum adat untuk menyelesaikan masalah.
“Ada istilah Mahe biti bot hodi tur hamutuk (bentang tikar besar lalu duduk bersama) selesaikan masalah”, jelasnya.
Ia mencontohkan, meskipun di perbatasan RI-RDTL yakni di wilayah Oecusi – Naktuka ada garis batas uang membatasi kedua negara. Namun masyarakat kedua negara tetap bisa saling mengunjungi.
Ia berkomitmen agar UNITAL dapat mencari konstruksi hukum adat yang tepat untuk direkomendasikan kepada pemerintah RDTL sebagai instrumen hukum yang bisa dipergunakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan sosial di perbatasan kedua negara.
Ketua Program Studi Hukum STIKUM, Volkes Nanis, SH.,MH, dalam materinya mengatakan, RI-RDTL merupakan saudara sedaging yang dipisahkan karena alasan politik. Namun perbedaan politik tidak boleh membatasi hubungan persaudaraan masyarakat kedua negara.
faktor yang menyebabkan terjadinya masalah sosial di perbatasan RI-RDTL yakni faktor ekonomi, budaya, biologis dan psikologis. Faktor penyebab masalah sosial inilah yang menimbulkan kejahatan atau kriminalitas yang sering menimbulkan rasa tidak nyaman.
Ia mengatakan, persoalan sosial yang terjadi di perbatasan RI-RDTL tidak harus diproses menggunakan hukum positif yakni hukum internasional dan hukum nasional, namun cukup menggunakan instrumen hukum adat. Kecuali lanjutnya, terjadinya tindakan kejahatan seperti pengedaran narkotik dan obat-obat terlarang (narkoba) yang tidak memungkinkan kedua negara menyelesaikannya menggunakan instrumen hukum adat.
Dalam kesimpulannya, sebagai moderator, Sipri yang merupakan Pemimpin Redaksi Portal Berita jurnal-NTT.com tersebut mengatakan, hukum adat bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan sosial yang terjadi di perbatasan RI-RDTL. Sebab kedua negara memiliki kultur yang sama.
Pemerintah kedua negara dapat membentuk peraturan daerah sebagai instrumen hukum positif yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah sosial yang terjadi di perbatasan kedua negara. Namun pembentukan Perda tersebut masih terhalang karena RDTL masih menggunakan asas sentralisasi kekuasaan. Negara RDTL belum menerapkan asas desentralisasi kekuasaan atau otonomi daerah yang dapat memberi kewenangan penuh kepada daerah untuk membentuk Perda.
Seminar internasional itu dihadiri ratusan peserta yang berasal dari berbagai universitas di Kota Kupang seperti STIKUM, Unwira, STIM, perangkat pemerintah desa, lembaga adat, dosen dan masyarakat.