Seminar Nasional di STIKUM Prof Usfunan: Musisi di NTT dan Bali Belum Dapat Apresiasi dan Hak Royalti

Penulis : Sipri Klau

Kupang, jurnal-NTT.com – Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIKUM) Prof.Dr.Yohanes Usfunan, SH.,MH kembali melaksanakan Seminar Nasional bertajuk “Pemenuhan dan Pengelolaan Royalti Hak Cipta Musik dan Lagu Daerah di NTT”, Sabtu (29/06/2024). Seminar Nasional ini merupakan hasil penelitian tim peneliti Universitas Udayana, Denpasar, Bali.

Kegiatan seminar nasional yang digelar di Aula STIKUM, Jln.Pendididikan, Nomor 6 Nasipanaf, Penfui Kupang itu menghadirkan dua pemateri yakni Dr.Made Aditya Pramana Putra, SH.,MH, peneliti sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali dan Wakil Ketua III DPD Persatuan Artis Penyanyi dan Pencipta Lagu Republik Indonesia (PAPPRI) Provinsi Nusa Tenggara Timur, Anselmus Tallo.

Dalam materinya, Dr. Made Aditya mengatakan, selain memiliki potensi alam yang berlimpah, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memilik potensi lainnya di bidang musik.

Menurutnya, musisi atau pencipta lagu di Provinsi Bali dan Provinsi NTT belum mendapatkan apresiasi dan atau pemenuhan hak-haknya seperti royalti dan hak lainnya. Persoalan tersebut menjadi pendorong baginya untuk melakukan penelitian.

Menurutnya, Hak Cipta adalah hak eksklusif Pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.

Sedangkan Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.

Selain itu, lanjutnya, Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cpta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukkan, produser, fonogram, atau lembaga penyiaran. Hak Terkait meliputi, Hak Moral pelaku pertunjukkan, Hak Ekonomi Pelaku Pertunjukkan, Hak Ekonomi Produser Fonogram; dan Hak Ekonomi lembaga penyiaran.

Dr.Made Aditya menjelaskan, sesuai hasil penelitiannya, banyak sekali musisi dan pencipta lagu di NTT yang belum mendapatkan hak-haknya, meskipun sudah ada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Lembaga Manejemen Kolektif (LMK) di NTT.

LMKN dan LMK katanya, harusnya lebih transparan dan berupaya untuk menjangkau para musisi yang ada di Bali dan NTT agar para musisi dan pencipta lagu bisa mendapatkan haknya seusai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurutnya, pemerintah telah menerbitkan regulasi PP 56 Tahun 2021 yang mengatur tentang pengelolan Royalti. Pemerintah juga telah membentuk lembaga yang berfungsi untuk mengelola royalti yakni LMKN yang berkoordinasi dengan LMK yang merupakan badan hukum swasta.

Beberapa undang-undang juga telah dibentuk untuk melindungi hak kekayaan intelektual yakni, Undang Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, UU Nomor 12 Tahun 2016 tentang Paten, UU Nomor 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, UU Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU Nomor 29 Tahun 200 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, UU Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Ia juga mengatakan, setiap orang dapat menggunakan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukkan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta dengan membayar imbalan kepada pencipta melalui LMK.

Untuk mendapatkan Hak Ekonomi, menurutnya, setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, Pemilik Hak Terkait menjadi anggota LMK agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersil.

LMK hanya dapat menggunakan dana operasional paling kurang 20 persen dari jumlah keseluruhan royalti yang dikumpulkan setiap tahun.

Ia melanjutkan, yang dimaksud dengan imbalan kepada pencipta adalah royalti yang nilainya ditetapkan secara standar oleh LMKN.

Kekayaan Intelektual katanya, terdiri dari paten, merek, desain industri, hak cipta, indikasi geografis, rahasia dagang, dan desain tata letak sirkuit terpadu.

Ia mengatakan, bentuk layanan publik yang bersifat komersial yang wajib membayar royalti atas penggunaan Hak Cipta kepada Pencipta meliputi, seminar dan konferensi komersial, restoran, cafe, pub, bar, bistro, kelab malam dan diskotik, konser musik, pesawat udara, bus, kereta api, kapal laut, pameran dan bazar, bioskop, nada tunggu telepon, bank, kantor, pertokoan, pusat rekreasi, lembaga penyiaran televisi, lembaga penyiaran radio, hotel, kamar hotel, fasilitas hotel dan usaha karaoke.

Sementara itu, Wakil Ketua III DPD PAPPRI NTT, Anselmus Tallo mengatakan, PAPPRI merupakan wadah bagi para seniman, artis, penyanyi, pemusik di NTT. Hingga saat ini, katanya, seniman dan pencipta lagu sudah terdata di NTT sebanyak 288 orang. PAPPRI NTT menurutnya, masih terus berupaya mendata para pencipta lagu yang sampai saat ini belum terdata.

“Masih lebih banyak lagi (seniman dan pencipta lagu) yang belum terdata”, ujarnya.

Menurutnya, pencipta lagu memiliki hak ekonomi dan royalti yang dilindungi UU.

“Karena karya cipta lagu itu digunakan oleh pribadi, lembaga dalam bidang usaha bersifat komersial. Maka harus bayar royalti kepada pencipta lagu. Bus yang putar lagu dalam perjalanan harus bayar royalti. Cuma hak ini belum diberlakukan karena badan atau lembaga (LMKN) itu belum bayar. Spy para seniman bisa dapat royalti”, jelasnya.

Menurut Anselmus, dalam satu lagu ada dua hak ekonomi. Pertama royalti Pencipta dan royalti Hak Terkait yaitu royalti yg diberikan kepada pemusik, penyanyi, pelaku honogram (studio rekaman).

Pencipta menurutnya adalah pribadi. Sementara pemegang hak cipta adalah orang yg menjadi ahli waris.

Ia menjelaskan alur pembagian atau penyaluran royalti kepada pemusik, penyanyi, pelaku studio rekaman yakni
Menurutnya, PP 56 tahun 2021 menyatakan, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) berhak menarik royalti dari pihak yang menggunakan musik atau lagu untuk kepentingan komersial dan bersifat publik.

LMKN akan menyerahkan royalti itu pada pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait yang telah menjadi anggota dari suatu LMK.

Anselmus berharap, semua stakeholder dapat mencegah terjadinya pelanggaran atas karya cipta lagu atau Hak Cipta khususnya pada pemanfaatan karya cipta lagu secara komersial oleh pengguna, pemanfaat atau user.

Ia juga berharap adanya sosialisasi dari berbagai pihak tentang ketentuan hukum terkait Hak Cipta dan Hak Ekonomi dari para pemilik Hak Cipta sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.

Tampil sebagai moderator dalam kegiatan Seminar Nasional itu, Volkes Nanis, SH.,MH, yang juga menjabat sebagai Koordinator Program Studi Ilmu Hukum STIKUM.

Volkes Nanis berharap, semua pihak tidak boleh melakukan plagiat terhadap Hak Cipta dan hak terkait lainnya.

Ia juga berharap para pihak yang menggunakan Hak Cipta dari para musisi, pencipta lagu dan hak terkait lainnya secara komersial agar taat membayar royalti sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Seminar nasional ini dihadiri ratusan mahasiswa/mahasiswi dan para dosen STIKUM Prof.Dr.Yohanes Usfunan, SH.,MH.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *